Rabu, 09 September 2009

"R.A Kartini sebagai pejuang kemajuan wanita"


C © updated 02052004






Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
► e-ti
Nama:
Raden Ajeng Kartini
Lahir:
Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal:
Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)

Pendidikan:
E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Suami:
Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Sumber:
- Album Pahlawan Bangsa Cetakan ke 18, penerbit PT Mutiara Sumber Widya
- Wajah-Wajah Nasional cetakan pertama. Karangan: Solichin Salam

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Pejuang Kemajuan Wanita


Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.

Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.

Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan.

silsilah R.A Kartini

Sejarah Ibu Kartini

Sejarah Ibu Kartini

Ibu Kartini, Putera Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosronigrat, cucu Bupati Demak Pangeran Ario Tjondronagoro. Beliau adalah seorang Bupati yang telah berfikir maju, dan telah memberikan pendidikan barat kepada putera-puteranya dengan mendatangkan seorang guru dari negeri Belanda.

Penduduk Jawa dan Madura pada saat itu masih sangat sedikit yang berpendidikan, ternyata pada tahun 1902 hanya terdapat orang Bupati yang pandai menulis dan berbahasa Belanda, mereka itu adalah :

1. Bupati Serang : P.A.A. Ahmad Djajadiningrat

2. Bupati Ngawi : R.M.T. Kusumo Utojo.

3. Bupati Demak : P.A. Adinigrat, Paman Ibu Kartini

4. Bupati Jepara : R.M.A.A. Sosroningrat, Ajah ibu Kartini

Ibu Kartini dilahrikan pada tanggal 21 April 1879, di Majong Kabupaten Jepara. Beliau Putera kelima dari 11 orang bersaudara yang urut-urutannya sebagai berikut :

1. R.M. Sosroningrat

2. P.A. Sosrobusono, Bupati Ngawi

3. R.A. Sosroaditjokro

4. R.M. Sosrokartono – Drs –

5. R.A. Kartini

6. R.A. Rukmini

7. R.A. Kardijah, Isteri Bupati Tegal

8. R.A. Kartinah

9. R.A. Sosromuljono

10. R.M. Sumantri Sosrohadikusumo

11. R.M. Sosrorawito

Sebagaimana saudara-saudarnya yang lain Ibu Kartini dimasukkan sekolah Europose Lagere School – sekolah untuk orang-orang Belanda dan orang-orang jawa yang terkemuka / kalangan atas.

Beliau bersekolah sampai berusia 12 tahun, dan kemudian keluar karena harus menjalani masa pingitan, yang telah mendaji tradisi, adat istiadat dikalangan tertentu bahwa seorang gadis pada saat datangnya masa kedewasaan / remaja tidak diperkenankan keluar rumah, dalam masa yang telah ditentukan.

Selama dalam pingitan beliau tidak banyak bergaul, karena pada saat itu hubungan kekeluargaan masih sangat terikat dengan adat-istiadat lam – sangat kaku. Maka satu-satunya tempat sebagai pelarian kesepian hatinya dan sebagai kawan yang setia adalah buku.

Buku, buku, membaca, demikian hampir seluruh kerja Ibu Kartini, tentunya disamping tugas-tugas keluarga. Buku demi buku dibacanya. Meskipun mengerti,faham akan isinya atau tidak, beliau ingin terus membacanya. Sekali belum faham diulanginya lagi, kedua belum faham, dibaca yang ketiga kalinya.

Setelah berusia 16 tahun beliau dibebaskan dari pingitan. Bersamaan dengan itu pula kakak perempuannya – yang tidak sefaham hatinya dengan Ibu Kartini – menikah, sehingga dengan demikian Ibu Kartini menjadi saudara perempuan yang tertua. Dan mulai pada waktu itulah beliau mengadakan bebrepa perubahan dalam adat-istiadat pergaulannya dengan adik-adiknya perempuan-tiga bersaudara : Kartini, Rukmini dan Kardinah. Pergaulan menjadi tidak kaku lagi, adik-adiknya tidak perlu bersembah-berjngkok dan sebagainya.

Ibu Kartini dengan cita-citanya memang tidak berdiri sendiri, atau dengan perkataan lain benih kebangkitan dan kemajuan yang berada dalam jiwanya tidak mungkin tumbuh dengan subur tanpa pemerliharaan dan siraman yang seksama.

Disamping buku-buku yang menjadi salah satu unsur penyebab suburnya benih cita-citanya Ibu Kartini, maka kenalan-kenalannya (sahabat-sahabatnya), yang semua orang-orang Eropa banyak pula memberikan dorongan dan bimbingan ibarat anjang-anjang bagi tanaman cita-cita Ibu Kartini.

Teman-teman Ibu Kartini:

1. Nyonya Cvink Nestenenk , seorang janda ipar Asisten Reseden Jepara, yang memberi pelajaran menggambar kepada Ibu Kartini bersaudara.

2. Nyonya Cvink Soer, Isteri Asisten residen Jepara. Karena tidak mempunyai anak maka sangat erat hubungannya dengan Ibu Kartini, bagaikan ibunya sendiri.

3. Nona Estella Zeehandelaar – Stela – , seorang gadis yang berlairan Sosialis. Perkenalannya dengan perantauan majjalah “De Hollanse Lelie”.

4. Mr. J.H. Abendanon, Direktur pada departemen Pengajaran (O & E), beliau banyak berusaha untuk kemajuan pendidikan anak gadis.

5. Nyonya Abendanon, Isteri Mr. Abendanon

6. Nona Annie Glaser, seorang Guru yang didatangkan di Jepara atas usaha Mr. Abendanon, yang membantu Ibu Kartini dalam mempersiapkan diri mengambil Hulpakte di Jakarta.

7. Ir. Van Kol, seorang tokoh sosialis belanda, anggota Twede kamer.

8. Nyonya Nellie van Kol, isteri Ir. Van kol

9. Edie Abendone, putera Mr. Abendanon.

10. Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya, di Jena (Jerman), pernah mengunjungi tanah jawa dan singgah di Jepara.

11. Dr. N. Andriani, ahli bahasa yag dikirimkan oleh Bijbel – genootschap kedaerah Posso, Sulteng, dan masih terdapat beberapa kenalan lagi.

Dalam mengejar cita-citanya Ibu Kartini banyak mendapat hambatan dari keluarganya, terutama dari kakaknya yang sulung, yang sangat menentangnya, sehingga sering kali timbul perselisihan. Adapun ajahnya dalam keadaan bimbang, beliau sangat mencintai puterinya dan memahami akan kebenaran cita-citanya, akan tetapi beliau masih merasa sangat khawatir akan pandangan bangsanya yang masih kolot. Hanya kakaknya Kartono yang dengan terang-terangan mendukung cita-cita Ibu Kartini. Beliau melanjutkan pelajarannya di Semarang. Dan dari beliaulah Ibu Kartini banyak memperoleh buku-buku yang berharga.

Pada tahun 1902 adiknya Rukmini telah mendahului menikah, yang kemudian mengikuti suaminya. Dengan demikian pecahlah tiga bersaudara, Kartini, Rukmini, Kardinah, dan kesepian hati mereka diutamakan pula dalam beberapa surat-surat beliau yang secit-citanya.

Kemudian datanglah pinangan dari Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat (yang sebelumnya memang sudah dikenal oleh keluarga Ibu Kartini), dan dengan ikhlas Ibu Kartini menerima pinangan itu, setelah terlebih dahulu menyerahkan kembali bea-siswa yang telah disediakan oleh Pemerintah.

Pada tanggal 8 Nopember 1903 berlangsunglah pernikahan Ibu Kartini dan seterusnya mengikuti suaminya ke Rembang, dan sejak itulah Ibu Kartini hidup berdampingan dengan suaminya dan melaksanakan sebagaian dari cita-citanya menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak perempuan.

Pada tanggal 13 September 1904 lahirlah putera yang pertama, dan empat hari kemudian 17 September 1904 Ibu Kartini telah dipanggil oleh Tuhan menghadap kehadiratnya, setelah bergulat dengan cita-citanya selama 12 tahun.

Bahagialah, bagi segenap Pemuka, perintism dan pembuka jalan kearah kemajuan dan keluhuran bangsa dan tanah airnya.

Bahagialah, mereka disisi Tuhan menyaksikan hasil harapan dan cita-citanya.